Senin, 12 Oktober 2015

PRODUKSI IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) JANTAN MENGGUNAKAN MADU LEBAH HUTAN



MAKALAH FISIOLOGI HEWAN
PRODUKSI IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) JANTAN 
MENGGUNAKAN MADU LEBAH HUTAN

 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri
Mata Kuliah         : Fisiologi Hewan
Dosen Pengampu : Yuyun Maryuningsih, S.Si, M.Pd.


                                                     logo-iain-syekh-nurjati.jpg


Disusun Oleh :
       Intan Ismawati
       (14121620642)

Tarbiyah IPA Biologi C / VI
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ikan Nila  merupakan  ikan  yang  sangat populer dibudidayakan, dengan keunggulan yaitu cara membudidayakannya mudah, tahan terhadap penyakit sesuai dengan iklim  tropis, memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan  ikan  tersebut  merupakan  komoditas  ikan  air  tawar  yang  memperoleh  banyak perhatian dari pemerintah dan pemerhati masalah perikanan dunia,  terutama dalam hal peningkatan gizi masyarakat di negara-negara yang  sedang   berkembang.   Berbagai   upaya   penelitian   dengan   tujuan  memperoleh  ikan  nila  yang  produktif  terus  dilakukan  khususnya  di  Indonesia.
Kajian teknologi budidaya ikan nila dalam mendukung intensifikasi pembudidayaan perlu mempertimbangkan aspek-aspek biologis untuk  meningkatkan efisiensi produksi. Pada spesies ikan nila  ditemukan ada perbedaan laju pertumbuhan, tingkah laku, warna, bentuk atau ukuran tubuh antara jantan dengan betina. Ikan nila jantan dapat tumbuh lebih cepat untuk mencapai ukuran konsumsi dibanding dengan ikan nila betina. Perbedaan kecepatan pertumbuhan ini menyebabkan potensi ekonomi antara ikan nila jantan dengan betina berbeda, sehingga petani ikan cenderung ingin memproduksi  ikan jantan saja (mono sex) yang dapat dilakukan dengan teknologi  sex reversal. Teknologi pengarahan kelamin (sex reversal)  merupakan salah satu teknik produksi monosex yang menerapkan rekayasa hormonal untuk merubah karakter seksual dari betina ke jantan (maskulinisasi) atau dari jantan menjadi betina (feminisasi). Aplikasi  sex reversal  untuk maskulinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan sintetis hormon 17α-metiltestosteron secara oral. Namun, penggunaanhormon 17α-metiltestosteron  dilaporkan memiliki berdampak negatif yaitu  efek karsinogenik (menyebabkan kanker) jika diterapkan untuk ikan konsumsi dan menimbulkan pencemaran  lingkungan, sehingga mempengaruhi keamanan pangan dan kelestarian  lingkungan. Selain itu harga hormon ini relatif mahal dan sulit untuk diperoleh. Melihat permasalahan tersebut, diperlukan penggunaan bahan alternatif lain yang aman dan ramah lingkungan dalam sex reversal. Salah satu cara yang dianggap aman adalah penggunaan bahan alami, (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013).
Madu adalah bahan alami yang aman dan ramah lingkungan yang berpotensi mengarahkan kelamin ikan menjadi dominan jantan. Madu dipilih karena mengandung kalium yang dapat merubah lemak menjadi prenegnolon, kemudian mengubah estrogen menjadi progesteron. Madu mengandung senyawa  chrysin  yang berfungsi sebagai  aromatase inhibitor  alami yang mengakibatkan produksi hormon testosteron meningkat sehingga sifat-sifat jantan menjadi dominan.  Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi madu yang optimal untuk menghasilkan ikan nila (Oreochromis niloticus) berkelamin jantan, (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013).
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan diangkat dalam pembahasan makalah ini adalah :
1.      Apa Biologis ikan nila merah (Oreochromis niloticus)?
2.      Bagaimana reproduksi ikan nila merah?
3.      Apa kandungan madu lebah hutan?
4.      Bagaimana variasi dosis pemberian madu lebah hutan terhadap ikan nila merah?
5.      Bagaimana pengaruh pemberian madu lebah hutan terhadap jantanisasi pada ikan nila merah?
6.      Bagaimana persentase pembentukan kelamin jantan ikan nila merah?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari masalah ini adalah sebagai berikut:.
1.      Mengetahui biologis ikan nila merah (Oreochromis niloticus).
2.      Mengetahui reproduksi ikan nila merah.
3.      Mengetahui kandungan madu lebah hutan.
4.      Mengetahui variasi dosis pemberian madu lebah hutan terhadap ikan nila merah.
5.      Mengetahui pengaruh pemberian madu lebah hutan terhadap jantanisasi pada ikan nila merah.
6.      Mengetahui persentase pembentukan kelamin jantan ikan nila merah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biologis Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus)
Ikan nila merah (Oreochromis sp.) adalah ikan hasil hibridisasi antara ikan Oreochromis mossambicus  dengan ikan  Oreochromis niloticus. Ikan nila merah didatangkan pertama kali dari Filipina ke  Indonesia pada tahun 1981 oleh badan peneilitian dan pengembangan perikanan.  Ikan nila merah sudah tersebar hampir ke seluruh wilayah di indonesia. Berdasarka morfologisnya, ikan nila merah ini sepintas mirip dengan ikan mujair,  tetapi tubuhnya lebih panjang dan ramping dengan sisik yang berukuran besar dan terdapat garis vertikal yang jelas di sirip ekor dan sirip punggung. Berikut ini klasifikasi ikan nila merah berdasarkan Saanin:
Kelas               : Osteichthyes
Sub-kelas         : Acanthoptherigii
Ordo                : Percomorphii 
Sub-ordo         : Percoidea 
Famili              : Cichlidae
Genus              : Oreochromis
Spesies            : Oreochromis sp.

Ikan nila banyak dipelihara masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan ikan nila mudah dipelihara dan dikembangbiakkan serta responsif juga efisien terhadap pemberian  pakan, ikan nila juga adaptif atau mudah menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan lingkungan dan tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Ikan nila mempunyai toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya sehingga bisa dipelihara di dataran  rendah  yang berair payau hingga dataran tinggi yang berair tawar dan mempunyai habitat hidup yang cukup beragam, (Anonim, 2007).
Ikan nila merah sama halnya dengan jenis ikan nila lain, jenis ikan nila merah yang masih kecil belum nampak perbedaan yang jelas antara kelamin jantan dan betina. Perbedaannya dapat diamati setelah ikan nila merah berumur 2-3 bulan (bobot badan ± 50 g). Ikan nila merah yang berumur 4-5 bulan (bobot badan  ± 100-150 g) sudah mulai kawin dan bertelur.  Tanda-tanda ikan nila merah jantan adalah badan lebih ramping dan  warna sisiknya lebih gelap  dari ikan nila merah betina, alat kelamin berupa papila  yang agak runcing yang berfungsi sebagai muara urine dan saluran sperma yang terletak di depan anus, sedangkan tanda – tanda ikan nila merah betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat dua lubang. Lubang yang depan untuk mengeluarkan telur dan lubang yang belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang sudah masak, perutnya akan  terlihat  membesar  dan apabila ditekan akan keluar telur, (Anonim, 2007).
Ikan nila merah termasuk ikan yang memelihara telur di dalam mulutnya atau disebut juga mouth breeders. Ikan nila merah siap memijah pada umur 4 bulan (bobot badan ±  200 g). Sepanjang tahun setiap 0,5-1,5 bulan ikan nila merah siap untuk memijah, dimana  tiap pemijahan dapat menghasilkan 400-1000 butir telur. Telur yang dikeluarkan oleh ikan nila merah betina dibuahi oleh ikan nila merah jantan, kemudian ikan nila merah betina segera mengambil telur yang telah dibuahi sperma (zygot) untuk diinkubasi hingga beberapa hari setelah menetas dalam mulutnya, (Anonim, 2007).
Penyebaran ikan nila yang sangat cepat didukung dengan kecepatan bereproduksi, menjadikan perkembangan ikan nila menjadi tidak terkontrol. Dampak  negatifnya adalah banyak terjadi perkawinan  silang dalam satu spesies (inbreeding), yang  berakibat pada menurunnya kualitas genetik ikan, selanjutnya akan menyebabkan turunnya performa ikan tersebut baik pertumbuhan, daya tahan terhadap penyakit, maupun kemampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya, (Anonim, 2007).



B.     Reproduksi Ikan Nila Merah
Ikan nila merah mulai memijah pada umur 4 bulan atau panjang badan berkisar 9,5 cm. Pembiakan terjadi setiap tahun tanpa adanya musim tertentu dengan interval waktu kematangan telur sekitar 2 bulan.  Proses pemijahan  alami pada suhu air berkisar 25-30 derajat Celcius, keasaman (pH) 6,5-7,5, dan ketinggian air 0,6-1m. Pemasukan induk ikan ke dalam kolam dilakukan pada pagi dan sore hari karena suhu tidak tinggi, dan untuk menjaga agar induk tidak stress, induk dimasukkan satu persatu.  Induk betina matang kelamin dapat menghasilkan telur antara 250  - 1.100 butir. Nila merah  tergolong sebagai Mouth Breeder  atau  pengeram dalam  mulut. Telur-telur yang telah dibuahi akan menetas dalam jangka 35 hari di dalam mulut induk betina. Nila merah  jantan mempunyai naluri membuat sarang  berbentuk  lubang di dasar perairan yang lunak sebelum mengajak pasangannya untuk  memijah.  Selesai pemijahan, induk betina menghisap  telur-telur yang telah dibuahi untuk dierami di dalam mulutnya. Induk jantan akan  meninggalkan induk betina, membuat sarang dan kawin lagi. Ikan nila merupakan Parental Care Fish, yaitu tipe yang mengerami telur dan menjaganya dalam mulut. Nila betina mengerami telur di dalam mulutnya dan senantiasa mengasuh  anaknya yang masih lemah.  Selama 10-13 hari, larva diasuh  oleh induk betina. Jika  induk betina melihat ada ancaman, maka anakan akan dihisap masuk oleh mulut betina, dan  dikeluarkan lagi bila situasi telah aman.  Benih  diasuh sampai  berumur kurang lebih 2 minggu, (Andri Martinus, 2013).
Proses diferensiasi kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang definitif. Fenotip atau perwujudan kelamin bergantung pada dua proses, yaitu faktor genetik dan oleh faktor lingkungan. Kedua proses tersebut secara bersamaan bertanggungjawab pada timbulnya morfologi, fungsional, maupun tingkah laku pada individu jantan atau individu betina. Secara genetik, jenis kelamin sudah ditentukan saat pembuahan, namun pada saat embrio, gonad atau organ kelamin primer masih berada dalam keadaan indiferen, yaitu keadaan saat bakat-bakat untuk menjadi jantan atau betina dalam bentuk rudimeter serta  semua kelengkapan struktur-struktur jantan dan betina sudah ada, hanya menunggu perintah diferensiasi dan penekanan ke arah aspek-aspek jantan atau betina. Mekanisme diferensiasi kelamin mula-mula berawal dari adanya sintesis  hormon yang terjadi bila ada perubahan lingkungan (tidak sesuai dengan kondisi normal atau adanya ketidakseimbangan antara kondisi dalam dan luar tubuh). Perubahan lingkungan yang terjadi akan diterima oleh indra, lalu disampaikan ke sistem syaraf pusat, setelah itu dikirim ke hipotalamus, kemudian memerintahkan kelenjar hipofisis untuk mengeluarka atau melepaskan hormon gonadatropin. Hormon gonadotropin ini masuk ke dalam darah dan dibawa ke gonad sebagai suatu petunjuk untuk memulai pembentukan gonad. Hormon jantan utamanya adalah testosteron dan betina estrogen, (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013).

C.    Kandungan madu lebah hutan terhadap jantanisasi ikan nila merah
            Madu adalah bahan alami yang aman dan ramah lingkungan yang berpotensi mengarahkan kelamin ikan menjadi dominan jantan. Madu dipilih karena mengandung kalium yang dapat merubah lemak menjadi prenegnolon, kemudian mengubah estrogen menjadi progesteron. Madu mengandung senyawa  chrysin  yang berfungsi sebagai  aromatase inhibitor  alami yang mengakibatkan produksi hormon testosteron meningkat sehingga sifat-sifat jantan menjadi dominan. (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013) Madu adalah salah satu pemanis alami yang banyak digunakan oleh masyarakat di dunia. Suatu individu akan berubah atau berdiferensiasi pada awal perkembangannya, tergantung  dengan ada atau tidaknya  hormon  testoteron. Gonad akan berdiferensiasi menjadi  jantan apabila terdapat  hormon testoteron, sebaliknya gonad akan terdiferensiasi menjadi betina apabila terdapat  hormon estradiol, (Andri Martinus, 2013).
     Madu  mengandung  chrysin  (aromatse inhibitor) berfungsi untuk menghambat kerja aromatase  dalam sintesis estrogen. Secara umum mekanisme penghambatan dengan 2 cara yaitu menghambat proses transkripsi gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada dan melalui cara bersaing dengan substrat selain testosteron sehingga aktivitas enzim aromatase tidak berjalan. Penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai  umpan  baliknya. Penurunan rasio estrogen terhadap androgen mengakibatkan terjadinya perubahan penampakan hormonal dari betina menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi jantanisasi karakteristik seksual sekunder. Chrysin  merupakan isoflavonoid dari bunga. Umumnya digunakan dalam dunia pembentukan  tubuh dan dalam olah raga pada umumnya untuk meningkatkan energi tubuh melalui peningkatan level testosteron.  Chrysin  memiliki kemampuan menutup produksi estrogen dan meningkatkan produksi testosterone. (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013)

D.    Variasi Dosis Pemberian Madu Lebah Hutan Terhadap Ikan Nila Merah
Berdasarkan jurnal, variasi dosis pemberian madu lebah hutan terhadap ikan nila merah menggunakan percobaan rancangan acak. Rancangan Acak  Lengkap dengan 3 ulangan untuk setiap perlakuan. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini dosis madu lebah hutan   dengan  4 variasi konsentrasi madu dan  1 kontrol (tanpa madu) yang dapat dilihat pada Tabel.
Tabel Jumlah Presentase Pembentukan Kelamin Jantan ekor Larva Ikan Nila dengan Variasi Madu Lebah Hutan (ml/ gram berat badan  ikan) Selama 90 Hari
Keterangan :Kontrol (-) = Perlakuan larva tanpa penambahan madu lebahhutan
A,B, C, dan D= Jumlah jantan yang terbentuk tiap perlakuan
E.     Pengaruh Pemberian Madu Lebah Hutan Terhadap Jantanisasi Pada Ikan Nila Merah
Pemberian madu pada penelitian jantanisasi ikan nila merah dilakukan setelah memasuki umur 2 minggu. Hal ini dikarenakan gonad belum berkembang atau pada masa  indeferen,  sehingga   memudahkan  untuk  jantanisasi.  Madu  mengandung senyawa   chrysin  yang  berfungsi  sebagai   aromatase  inhibitor  alami.  Aromatase inhibitor  berfungsi  untuk  menghambat  kerja  aromatase  dalam  sintesis  estrogen Penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang  mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai umpan balik, (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal, penurunan  rasio  estrogen  terhadap  androgen  menyebabkan  terjadinya  perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi jantanisasi karakteristik seksual sekunder. Secara umum, aromatase inhibitor, selain  menghambat  proses  transkripsi  gen-gen  aromatase  sehingga  mRNA  tidak terbentuk  dan  enzim  aromatase  tidak  ada,  juga  bersaing  dengan  substrat  alami (testosteron)  sehingga  aktivitas  aromatase  tidak  berjalan.  Efektifitas  aromatase inhibitor dalam jantanisasi dipengaruhi dosis, semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin singkat waktu perlakuan yang dibutuhkan, jenis aromatase inhibitor, lama perlakuan perlu diperhatikan karena perlakuan yang lama belum tentu akan menghasilkan  jantanisasi  lebih  baik,  suhu  perlakuan  berpengaruh  terhada pembentukan kelamin ikan, pada suhu rendah dibawah 240 C menghasilkan persentase betina lebih banyak yaitu 80-100%, sebaliknya pada suhu normal (250 C-270 C) akan dihasilkan jenis kelamin jantan lebih tinggi berkisar 60-70% dan waktu perlakuan, perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap jantanisasi, apabila perlakuan tidak pada waktu yang tepat maka jantanisasi tidak akan berhasil. Waktu yang paling sensitif untuk perlakuan aromatase inhibitor pada ikan   nila adalah saat memasuki minggu kedua setelah menetas (11-14 hari) atau pada stadium awal perkembangan atau masa diferensiasi ikan terjadi hingga 30 hari setelah menetas, dan waktu yang paling efektif melalui pemberian pakan karena daya serapnya lebih tinggi dan dapat langsung digunakan untuk diferensiasi kelamin pada organ target yang dibandingkan dengan perendaman larva pada umur yang sama.Pada waktu ini  organ kelamin masih berada dalam keadaan indeferen bakat untuk jantan atau betina sudah ada, hanya menunggu perintah diferensiasi dan penekanan kearah aspek jantan atau betina, (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal, mengenai ikan nila merah, untuk  minggu  pertama,  ikan  nila  diberikan  pakan  alami  yaitu   daphnia. Setelah memasuki minggu kedua, pakan  alami diganti dengan pakan buatan yang sudah diberi madu sesuai dengan tiap perlakuan yaitu 25, 50, 75, 100 ml dan control (tanpa perlakuan). Ikan nila yang berumur  2 minggu ditimbang, diperoleh berat sebagai berikut   akuarium pertama diketahui berat total benih ikan nila yaitu 5 gram, akuarium kedua berat total benih yaitu seberat 4 gram, akuarium ketiga berat total benih yaitu seberat 5gram, akuarium keempat berat total benih yaitu seberat 5 gram dan akuarium kelima berat total benih yaitu 4 gram, (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal, dari  hasil  penimbangan  berat  badan  ikan  Nila  tersebut  dapat  ditentukan variasi dosis madu yang diberikan. Madu yang diberikan sebanyak 25 ml/5 gram,  akuarium kedua benih ikan nila  seberat 4 gram dosis madu yang diberikan sebanyak 50 ml/ 4 gram, akuarium ketiga benih ikan nila merah seberat 5 gram dosis madu yang diberikan sebanyak 75 ml/ 5 gram , akuarium keempat benih ikan nila seberat 4  gram  dosis  madu yang diberikan  sebanyak 100  ml/ 4 gram. Sedangkan  pada akuarium kelima hanya diberikan pakan buatan (pellet). Pakan yang diberikan pada umur 2 minggu adalah PF-500 yang dicampur dengan madu sesuai dengan dosis yang diberikan di setiap akuarium hingga ikan  berumur 15-20 hari. Selanjutnya benih ikan nila merah ditimbang kembali setelah berumur 30 hari dengan berat benih ikan nila yang sudah ditimbang yaitu 6 gram dan pakan sudah menggunakan PF-800. Sehingga diketahui variasi konsentrasi madu yang dicampur pakan buatan (pellet), (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal,Setiap 3-4  hari  selama 1  bulan,  dilakukan  pembersihan  akuarium,  ini dilakukan  agar  benih  ikan  nila  merah  tetap  sehat,  akuarium   yang  kotor  dapat mengakibatkan kematian pada ikan itu sendiri. Setelah benih ikan nila merah berumur 1 bulan, dipindahkan ke jaring (happa) berukuran 100x400 meter. Pemindahan ini bertujuan agar benih lebih cepat tumbuh, karena ruang gerak yang dimiliki lebih banyak dibandingkan saat diletakkan pada akuarium. Jaring (happa) yang digunakan berjumlah  5  buah.  Disetiap  jaring (happa)  dibuat  menjadi  tiga  bagian  dalam 1 perlakuan (3 kali ulangan). Sehingga setiap jaring (happa) berisi 120 ekor ikan nila merah yang terbagi menjadi 3 bagian, (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal, pemberian  pakan  sama   dengan  sebelumnya  yaitu  dengan  dilakukan penimbangan kembali guna mengetahui banyak variasi konsentrasi madu dicampur pakan  buatan  yang  harus  diberikan.  Setelah  ikan  berumur 3  bulan,  dilakukan pengecekan  jenis  kelamin.  Pengecekan  jenis  kelamin  dilakukan  secara  manual, dengan melihat bagian  urogenital papillae pada ikan nila merah  (Anonim  1998).  Hasil  penelitian  menunjukkan  jantanisasi  menggunakan  madu  selama 3  bulan memberikan pengaruh terhadap pembentukan ikan nila berkelamin jantan yaitu ada beda nyata perlakuan dengan control, (Andri Martinus, 2013).
F.     Persentase Pembentukan Kelamin Jantan Ikan Nila Merah
Berdasarkan jurnal, berdasarkan penelitian yang dilakukan selama tiga bulan, pemberian variasi dosis madu tidak berpengaruh antar perlakuan  (25,  50,  75 dan  100 ml) terhadap persentase kelamin ikan nila merah pada  taraf kepercayaan 95%, diduga dosis yang digunakan melalui percampuran pakan sejak memasuki umur 2 minggu  hari hingga 3 bulan  terserap  secara  menyeluruh.  Dalam   pemberian  pakan  yang  efektif,  perlu diperhatikan hubungan dosis (ml/gr bb ikan) dan lama perlakuan. Pemberian madu melalui  pakan  selama 3  bulan,  perlakuan  memperlihatkan  beda  nyata  pada pembentukan kelamin jantan dibandingkan dengan kontrol sedangkan antar perlakuan tidak ada beda nyata. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Tabel .
Tabel Persentase kelamin jantan ikan nila merah yang diperlakukan dengan variasi dosis madu
Keterangan  :  Angka  yang  diberi  huruf  sama  pada  baris  dan  kolom  yang sama tidak berbeda nyata dengan tingkat kepercayaan 95%.
Berdasarkan jurnal, dosis  pemberian  madu  yang  digunakan  ini  mengacu  pada  penelitian sebelumnya  yaitu  pada  jantanisasi  ikan   guppy  dengan  dosis sebanyak 50mL/L dengan persentasenya 64,07 ± 9,71%, melalui perendaman saat induk sedang dalam keadaaan bunting. Sedangkan pada perlakuan ikan nila merah dengan dosis 25 ml diperoleh ikan nila jantan sebesar 72,5%, dosis kedua 50 ml sebesar 72,5% jantan, dosis ketiga 75 ml  sebesar 75% jantan, dosis keempat 100 ml sebesar 73,3% jantan, sedangkan perlakuan kontrol diperoleh hasil sebesar 61,6% jantan.  Hasil  penelitian  menunjukkan  terdapat  perbedaan  yang  nyata  perlakuan dengan  kontrol,  namun  antarperlakuan  tidak  menunjukkan  beda  nyata  dalam pembentukan jantanisasi. Sehingga diperoleh persentase kelamin jantan maksimal pada madu 75 ml dan berbeda nyata dari control, (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal, hasil analisis statistik (pada Tabel) menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antara perlakuan (25, 50, 75, dan 100 ml)   dengan kontrol  sedangkan antar perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan  terhadap pembentukan ikan nila merah berkelamin jantan.   Penelitian jantanisasi sebelumnya pada ikan guppy dengan pemberian dosis madu  50 ml/L menghasilkan persentase kelamin jantan tertinggi sebanyak 64,07 ± 9,71%. Tingginya persentase tersebut diakibatkan oleh pengaruh  chrysin yang menghambat aktivitas aromatase hingga transkripsi gen aromatase. Penghambatan tersebut  mengakibatkan kandungan hormon  testosterone lebih banyak dibandingkan  dengan kandungan hormon estradiol. Persentase kelamin jantan tertinggi pada dosis 75 ml/bb sebesar 75%. Dosis madu yang efektif adalah 25 ml/bb karena dengan dosis terkecil sudah menunjukkan tingkat jantanisasi  yang hampir sama dengan 50, 75 dan 100 ml, (Andri Martinus, 2013).





BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ikan nila merah pada reproduksinya memulai memijah pada umur 4 bulan atau panjang badan berkisar 9,5 cm. Induk betina matang kelamin dapat menghasilkan telur antara 250 - .100 butir. Nila merah  tergolong sebagai Mouth Breeder  atau  pengeram dalam  mulut. Telur-telur yang telah dibuahi akan menetas dalam jangka 35 hari di dalam mulut induk betina.
2.      Pengaruh Madu terhadap jantanisasi ikan nila merah karena mengandung senyawa  chrysin  yang berfungsi sebagai  aromatase inhibitor  alami yang mengakibatkan produksi hormon testosteron meningkat sehingga sifat-sifat jantan menjadi dominan.
3.      Dosis madu lebah hutan efektif yang ditambahkan pada pakan buatan  (pellet) yaitu  25ml/bb dan persentase pembentukan kelamin jantan terdapat pada  variasi madu yang terkecil (25 ml) yaitu 72,5%.
4.      Penurunan  rasio  estrogen  terhadap  androgen  pada ikan nila menyebabkan  terjadinya  perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi jantanisasi karakteristik seksual sekunder.
5.      Hasil  penelitian  menunjukkan  jantanisasi  menggunakan  madu  selama 3 bulan memberikan pengaruh terhadap pembentukan ikan nila berkelamin jantan yaitu menunjukkan  beda   nyata  perlakuan  terhadap   kontrol,  tetapi  jika  dibandingkan  antarperlakuan   tidak  menunjukkan  adanya  beda  nyata  dalam  jantanisasi.





Daftar Pustaka

Adhita Damayanti Ayu Dkk. 2013. Jurnal Penelitian Budidaya Perairan. Aplikasi Madu Untuk Pengarahan Jenis Kelamin Pada Ikan Nila  (Oreochromis niloticus). Vol 2 (2) No 82-86 ISSN 2089-7790
Andri Martinus. 2013. Jurnal Penelitian Teknobiologi. Produksi Ikan Nila Merah (Orechromis niloticus) Jantan  Menggunakan Madu Lebah Hutan.
Andri Martinus. 2013. Skripsi Penelitian Teknobiologi. Produksi Ikan Nila Merah (Orechromis niloticus) Jantan  Menggunakan Madu Lebah Hutan.
Anonym. 2007. http://media.unpad.ac.id/thesis/230110/2007/230110070115_2_7891.pdf. Diakses tanggal 9/04/2015 Jam 16:08 WIB.