MAKALAH FISIOLOGI HEWAN
PRODUKSI
IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) JANTAN
MENGGUNAKAN
MADU LEBAH HUTAN
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Fisiologi Hewan
Dosen Pengampu : Yuyun Maryuningsih, S.Si, M.Pd.

Disusun Oleh :
Intan Ismawati
(14121620642)
Tarbiyah IPA Biologi C / VI
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ikan Nila
merupakan ikan yang
sangat populer dibudidayakan, dengan keunggulan yaitu cara membudidayakannya
mudah, tahan terhadap penyakit sesuai dengan iklim tropis, memiliki nilai ekonomi yang cukup
tinggi. Hal ini
dikarenakan ikan tersebut
merupakan komoditas ikan
air tawar yang
memperoleh banyak perhatian dari
pemerintah dan pemerhati masalah perikanan dunia, terutama dalam hal peningkatan gizi
masyarakat di negara-negara yang
sedang berkembang. Berbagai
upaya penelitian dengan
tujuan memperoleh ikan
nila yang produktif
terus dilakukan khususnya
di Indonesia.
Kajian teknologi budidaya ikan nila dalam mendukung intensifikasi
pembudidayaan perlu mempertimbangkan aspek-aspek biologis untuk meningkatkan efisiensi produksi. Pada spesies
ikan nila ditemukan ada perbedaan laju
pertumbuhan, tingkah laku, warna, bentuk atau ukuran tubuh antara jantan dengan
betina. Ikan nila jantan dapat tumbuh lebih cepat untuk mencapai ukuran
konsumsi dibanding dengan ikan nila betina. Perbedaan kecepatan pertumbuhan ini
menyebabkan potensi ekonomi antara ikan nila jantan dengan betina berbeda,
sehingga petani ikan cenderung ingin memproduksi ikan jantan saja (mono sex) yang dapat
dilakukan dengan teknologi sex reversal.
Teknologi pengarahan kelamin (sex reversal)
merupakan salah satu teknik produksi monosex yang menerapkan rekayasa
hormonal untuk merubah karakter seksual dari betina ke jantan (maskulinisasi)
atau dari jantan menjadi betina (feminisasi). Aplikasi sex reversal
untuk maskulinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan sintetis
hormon 17α-metiltestosteron secara oral. Namun, penggunaanhormon
17α-metiltestosteron dilaporkan memiliki
berdampak negatif yaitu efek
karsinogenik (menyebabkan kanker) jika diterapkan untuk ikan konsumsi dan
menimbulkan pencemaran lingkungan,
sehingga mempengaruhi keamanan pangan dan kelestarian lingkungan. Selain itu harga hormon ini
relatif mahal dan sulit untuk diperoleh. Melihat permasalahan tersebut,
diperlukan penggunaan bahan alternatif lain yang aman dan ramah lingkungan
dalam sex reversal. Salah satu cara yang dianggap aman adalah penggunaan bahan
alami, (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013).
Madu adalah bahan alami yang aman dan ramah lingkungan yang
berpotensi mengarahkan kelamin ikan menjadi dominan jantan. Madu dipilih karena
mengandung kalium yang dapat merubah lemak menjadi prenegnolon, kemudian
mengubah estrogen menjadi progesteron. Madu mengandung senyawa chrysin
yang berfungsi sebagai aromatase
inhibitor alami yang mengakibatkan
produksi hormon testosteron meningkat sehingga sifat-sifat jantan menjadi
dominan. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui konsentrasi madu yang optimal untuk menghasilkan
ikan nila (Oreochromis niloticus) berkelamin jantan, (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah
yang akan diangkat dalam pembahasan makalah ini adalah :
1. Apa Biologis ikan nila merah (Oreochromis
niloticus)?
2. Bagaimana reproduksi ikan nila merah?
3. Apa kandungan madu lebah hutan?
4. Bagaimana variasi dosis pemberian madu lebah hutan terhadap ikan nila
merah?
5. Bagaimana pengaruh pemberian madu lebah hutan terhadap jantanisasi pada
ikan nila merah?
6. Bagaimana persentase pembentukan kelamin jantan ikan nila merah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari masalah ini adalah sebagai berikut:.
1. Mengetahui biologis ikan nila merah (Oreochromis
niloticus).
2. Mengetahui reproduksi ikan nila merah.
3. Mengetahui kandungan madu lebah hutan.
4. Mengetahui variasi dosis pemberian madu lebah hutan terhadap ikan nila
merah.
5. Mengetahui pengaruh pemberian madu lebah hutan terhadap jantanisasi pada
ikan nila merah.
6. Mengetahui persentase pembentukan kelamin jantan ikan nila merah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biologis Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus)
Ikan nila merah (Oreochromis sp.) adalah ikan hasil hibridisasi antara
ikan Oreochromis mossambicus dengan
ikan Oreochromis niloticus. Ikan
nila merah didatangkan pertama kali dari Filipina ke Indonesia pada tahun 1981 oleh badan
peneilitian dan pengembangan perikanan.
Ikan nila merah sudah tersebar hampir ke seluruh wilayah di indonesia.
Berdasarka morfologisnya, ikan nila merah ini sepintas mirip dengan ikan
mujair, tetapi tubuhnya lebih panjang
dan ramping dengan sisik yang berukuran besar dan terdapat garis vertikal yang
jelas di sirip ekor dan sirip punggung. Berikut ini klasifikasi ikan nila merah
berdasarkan Saanin:
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas :
Acanthoptherigii
Ordo :
Percomorphii
Sub-ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis sp.
Ikan nila banyak dipelihara masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan
ikan nila mudah dipelihara dan dikembangbiakkan serta responsif juga efisien
terhadap pemberian pakan, ikan nila juga
adaptif atau mudah menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan lingkungan dan
tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Ikan nila mempunyai toleransi yang
tinggi terhadap lingkungan hidupnya sehingga bisa dipelihara di dataran rendah
yang berair payau hingga dataran tinggi yang berair tawar dan mempunyai
habitat hidup yang cukup beragam, (Anonim,
2007).
Ikan nila merah sama halnya dengan jenis ikan nila lain, jenis ikan nila
merah yang masih kecil belum nampak perbedaan yang jelas antara kelamin jantan
dan betina. Perbedaannya dapat diamati setelah ikan nila merah berumur 2-3
bulan (bobot badan ± 50 g). Ikan nila merah yang berumur 4-5 bulan (bobot
badan ± 100-150 g) sudah mulai kawin dan
bertelur. Tanda-tanda ikan nila merah
jantan adalah badan lebih ramping dan warna sisiknya lebih gelap dari ikan nila merah betina, alat kelamin
berupa papila yang agak runcing yang
berfungsi sebagai muara urine dan saluran sperma yang terletak di depan anus,
sedangkan tanda – tanda ikan nila merah betina adalah alat kelamin berupa
tonjolan di belakang anus, dimana terdapat dua lubang. Lubang yang depan untuk
mengeluarkan telur dan lubang yang belakang untuk mengeluarkan air seni dan
bila telah mengandung telur yang sudah masak, perutnya akan terlihat
membesar dan apabila ditekan akan
keluar telur, (Anonim, 2007).
Ikan nila merah termasuk ikan yang memelihara telur di dalam mulutnya
atau disebut juga mouth breeders. Ikan nila merah siap memijah pada umur 4
bulan (bobot badan ± 200 g). Sepanjang
tahun setiap 0,5-1,5 bulan ikan nila merah siap untuk memijah, dimana tiap pemijahan dapat menghasilkan 400-1000
butir telur. Telur yang dikeluarkan oleh ikan nila merah betina dibuahi oleh
ikan nila merah jantan, kemudian ikan nila merah betina segera mengambil telur
yang telah dibuahi sperma (zygot) untuk diinkubasi hingga beberapa hari setelah
menetas dalam mulutnya, (Anonim, 2007).
Penyebaran ikan nila yang sangat cepat didukung dengan kecepatan
bereproduksi, menjadikan perkembangan ikan nila menjadi tidak terkontrol.
Dampak negatifnya adalah banyak terjadi
perkawinan silang dalam satu spesies
(inbreeding), yang berakibat pada menurunnya
kualitas genetik ikan, selanjutnya akan menyebabkan turunnya performa ikan
tersebut baik pertumbuhan, daya tahan terhadap penyakit, maupun kemampuan
beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya, (Anonim, 2007).
B. Reproduksi Ikan Nila Merah
Ikan nila merah mulai memijah pada umur 4 bulan atau panjang badan
berkisar 9,5 cm. Pembiakan terjadi setiap tahun tanpa adanya musim tertentu
dengan interval waktu kematangan telur sekitar 2 bulan. Proses pemijahan alami pada suhu air berkisar 25-30 derajat
Celcius, keasaman (pH) 6,5-7,5, dan ketinggian air 0,6-1m. Pemasukan induk ikan
ke dalam kolam dilakukan pada pagi dan sore hari karena suhu tidak tinggi, dan
untuk menjaga agar induk tidak stress, induk dimasukkan satu persatu. Induk betina matang kelamin dapat
menghasilkan telur antara 250 - 1.100
butir. Nila merah tergolong sebagai
Mouth Breeder atau pengeram dalam mulut. Telur-telur yang telah dibuahi akan
menetas dalam jangka 35 hari di dalam mulut induk betina. Nila merah jantan mempunyai naluri membuat sarang berbentuk
lubang di dasar perairan yang lunak sebelum mengajak pasangannya
untuk memijah. Selesai pemijahan, induk betina
menghisap telur-telur yang telah dibuahi
untuk dierami di dalam mulutnya. Induk jantan akan meninggalkan induk betina, membuat sarang dan
kawin lagi. Ikan nila merupakan Parental Care Fish, yaitu tipe yang mengerami
telur dan menjaganya dalam mulut. Nila betina mengerami telur di dalam mulutnya
dan senantiasa mengasuh anaknya yang
masih lemah. Selama 10-13 hari, larva
diasuh oleh induk betina. Jika induk betina melihat ada ancaman, maka anakan
akan dihisap masuk oleh mulut betina, dan
dikeluarkan lagi bila situasi telah aman. Benih
diasuh sampai berumur kurang
lebih 2 minggu, (Andri Martinus, 2013).
Proses diferensiasi kelamin merupakan proses
perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang definitif. Fenotip atau
perwujudan kelamin bergantung pada dua proses, yaitu faktor genetik dan oleh
faktor lingkungan. Kedua proses tersebut secara bersamaan bertanggungjawab pada
timbulnya morfologi, fungsional, maupun tingkah laku pada individu jantan atau
individu betina. Secara genetik, jenis kelamin sudah ditentukan saat pembuahan,
namun pada saat embrio, gonad atau organ kelamin primer masih berada dalam
keadaan indiferen, yaitu keadaan saat bakat-bakat untuk menjadi jantan atau
betina dalam bentuk rudimeter serta
semua kelengkapan struktur-struktur jantan dan betina sudah ada, hanya
menunggu perintah diferensiasi dan penekanan ke arah aspek-aspek jantan atau
betina. Mekanisme diferensiasi kelamin mula-mula berawal dari adanya sintesis hormon yang terjadi bila ada perubahan
lingkungan (tidak sesuai dengan kondisi normal atau adanya ketidakseimbangan
antara kondisi dalam dan luar tubuh). Perubahan lingkungan yang terjadi akan
diterima oleh indra, lalu disampaikan ke sistem syaraf pusat, setelah itu
dikirim ke hipotalamus, kemudian memerintahkan kelenjar hipofisis untuk
mengeluarka atau melepaskan hormon gonadatropin. Hormon gonadotropin ini masuk
ke dalam darah dan dibawa ke gonad sebagai suatu petunjuk untuk memulai pembentukan
gonad. Hormon jantan utamanya adalah testosteron dan betina estrogen, (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013).
C. Kandungan madu lebah hutan terhadap jantanisasi ikan
nila merah
Madu adalah bahan alami
yang aman dan ramah lingkungan yang berpotensi mengarahkan kelamin ikan menjadi
dominan jantan. Madu dipilih karena mengandung kalium yang dapat merubah lemak
menjadi prenegnolon, kemudian mengubah estrogen menjadi progesteron. Madu mengandung
senyawa chrysin yang berfungsi sebagai aromatase inhibitor alami yang mengakibatkan produksi hormon
testosteron meningkat sehingga sifat-sifat jantan menjadi dominan. (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013) Madu adalah salah satu
pemanis alami yang banyak digunakan oleh masyarakat di dunia. Suatu individu
akan berubah atau berdiferensiasi pada awal perkembangannya, tergantung dengan ada atau tidaknya hormon
testoteron. Gonad akan berdiferensiasi menjadi jantan apabila terdapat hormon testoteron, sebaliknya gonad akan
terdiferensiasi menjadi betina apabila terdapat
hormon estradiol, (Andri Martinus, 2013).
Madu mengandung
chrysin (aromatse inhibitor)
berfungsi untuk menghambat kerja aromatase
dalam sintesis estrogen. Secara umum mekanisme penghambatan dengan 2
cara yaitu menghambat proses transkripsi gen aromatase sehingga mRNA tidak
terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada dan melalui cara
bersaing dengan substrat selain testosteron sehingga aktivitas enzim aromatase tidak
berjalan. Penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi
estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase
sebagai umpan baliknya. Penurunan rasio estrogen terhadap
androgen mengakibatkan terjadinya perubahan penampakan hormonal dari betina
menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi jantanisasi karakteristik seksual
sekunder. Chrysin merupakan isoflavonoid
dari bunga. Umumnya digunakan dalam dunia pembentukan tubuh dan dalam olah raga pada umumnya untuk
meningkatkan energi tubuh melalui peningkatan level testosteron. Chrysin
memiliki kemampuan menutup produksi estrogen dan meningkatkan produksi
testosterone. (Adhita Damayanti Ayu Dkk, 2013)
D. Variasi Dosis Pemberian Madu Lebah Hutan
Terhadap Ikan Nila Merah
Berdasarkan
jurnal, variasi dosis pemberian madu lebah hutan terhadap ikan nila merah
menggunakan percobaan rancangan acak. Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan untuk setiap
perlakuan. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini dosis madu lebah
hutan dengan 4 variasi konsentrasi madu dan 1 kontrol (tanpa madu) yang dapat dilihat
pada Tabel.
Tabel
Jumlah Presentase Pembentukan Kelamin Jantan ekor Larva Ikan Nila dengan
Variasi Madu Lebah Hutan (ml/ gram berat badan
ikan) Selama 90 Hari

Keterangan
:Kontrol (-) = Perlakuan larva tanpa penambahan madu lebahhutan
A,B, C, dan D= Jumlah jantan yang terbentuk
tiap perlakuan
E. Pengaruh Pemberian Madu Lebah Hutan Terhadap
Jantanisasi Pada Ikan Nila Merah
Pemberian madu pada penelitian jantanisasi ikan nila merah dilakukan
setelah memasuki umur 2 minggu. Hal ini dikarenakan gonad belum berkembang atau
pada masa indeferen, sehingga
memudahkan untuk jantanisasi.
Madu mengandung senyawa chrysin
yang berfungsi sebagai
aromatase inhibitor alami.
Aromatase inhibitor
berfungsi untuk menghambat
kerja aromatase dalam
sintesis estrogen Penghambatan
ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari
gen aromatase sebagai umpan balik, (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal, penurunan rasio
estrogen terhadap androgen
menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi
menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi jantanisasi karakteristik seksual
sekunder. Secara umum, aromatase inhibitor, selain menghambat
proses transkripsi gen-gen
aromatase sehingga mRNA
tidak terbentuk dan enzim
aromatase tidak ada,
juga bersaing dengan
substrat alami (testosteron) sehingga
aktivitas aromatase tidak
berjalan. Efektifitas aromatase inhibitor dalam jantanisasi dipengaruhi
dosis, semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin singkat waktu perlakuan
yang dibutuhkan, jenis aromatase inhibitor, lama perlakuan perlu diperhatikan
karena perlakuan yang lama belum tentu akan menghasilkan jantanisasi
lebih baik, suhu perlakuan berpengaruh
terhada pembentukan kelamin ikan, pada suhu rendah dibawah 240 C
menghasilkan persentase betina lebih banyak yaitu 80-100%, sebaliknya pada suhu
normal (250 C-270 C) akan dihasilkan jenis kelamin jantan lebih tinggi berkisar
60-70% dan waktu perlakuan, perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh
terhadap jantanisasi, apabila perlakuan tidak pada waktu yang tepat maka
jantanisasi tidak akan berhasil. Waktu yang paling sensitif untuk perlakuan
aromatase inhibitor pada ikan nila
adalah saat memasuki minggu kedua setelah menetas (11-14 hari) atau pada
stadium awal perkembangan atau masa diferensiasi ikan terjadi hingga 30 hari
setelah menetas, dan waktu yang paling efektif melalui pemberian pakan karena
daya serapnya lebih tinggi dan dapat langsung digunakan untuk diferensiasi
kelamin pada organ target yang dibandingkan dengan perendaman larva pada umur
yang sama.Pada waktu ini organ kelamin masih berada dalam keadaan
indeferen bakat untuk jantan atau betina sudah ada, hanya menunggu perintah
diferensiasi dan penekanan kearah aspek jantan atau betina, (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal, mengenai ikan nila merah, untuk minggu
pertama, ikan nila
diberikan pakan alami
yaitu daphnia. Setelah memasuki minggu kedua, pakan alami diganti dengan pakan buatan yang sudah
diberi madu sesuai dengan tiap perlakuan yaitu 25, 50, 75, 100 ml dan control
(tanpa perlakuan). Ikan nila yang
berumur 2 minggu ditimbang, diperoleh
berat sebagai berikut akuarium pertama
diketahui berat total benih ikan nila yaitu 5 gram, akuarium kedua berat total
benih yaitu seberat 4 gram, akuarium ketiga berat total benih yaitu seberat
5gram, akuarium keempat berat total benih yaitu seberat 5 gram dan akuarium
kelima berat total benih yaitu 4 gram, (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal, dari
hasil penimbangan berat
badan ikan Nila
tersebut dapat ditentukan variasi dosis madu yang diberikan.
Madu yang diberikan sebanyak 25 ml/5 gram,
akuarium kedua benih ikan nila seberat
4 gram dosis madu yang diberikan sebanyak 50 ml/ 4 gram, akuarium ketiga benih
ikan nila merah seberat 5 gram dosis madu yang diberikan sebanyak 75 ml/ 5 gram
, akuarium keempat benih ikan nila seberat 4
gram dosis madu yang diberikan sebanyak 100
ml/ 4 gram. Sedangkan pada
akuarium kelima hanya diberikan pakan buatan (pellet). Pakan yang diberikan
pada umur 2 minggu adalah PF-500 yang dicampur dengan madu sesuai dengan dosis
yang diberikan di setiap akuarium hingga ikan
berumur 15-20 hari. Selanjutnya benih ikan nila merah ditimbang kembali
setelah berumur 30 hari dengan berat benih ikan nila yang sudah ditimbang yaitu
6 gram dan pakan sudah menggunakan PF-800. Sehingga diketahui variasi
konsentrasi madu yang dicampur pakan buatan (pellet), (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal,Setiap 3-4
hari selama 1 bulan,
dilakukan pembersihan akuarium,
ini dilakukan agar benih
ikan nila merah
tetap sehat, akuarium
yang kotor dapat mengakibatkan kematian pada ikan itu
sendiri. Setelah benih ikan nila merah berumur 1 bulan, dipindahkan ke jaring
(happa) berukuran 100x400 meter. Pemindahan ini bertujuan agar benih lebih
cepat tumbuh, karena ruang gerak yang dimiliki lebih banyak dibandingkan saat
diletakkan pada akuarium. Jaring (happa) yang digunakan berjumlah 5
buah. Disetiap jaring (happa) dibuat
menjadi tiga bagian
dalam 1 perlakuan (3 kali ulangan). Sehingga setiap jaring (happa)
berisi 120 ekor ikan nila merah yang terbagi menjadi 3 bagian, (Andri Martinus, 2013).
Berdasarkan jurnal, pemberian pakan
sama dengan sebelumnya
yaitu dengan dilakukan penimbangan kembali guna mengetahui
banyak variasi konsentrasi madu dicampur pakan
buatan yang harus
diberikan. Setelah ikan
berumur 3 bulan, dilakukan pengecekan jenis
kelamin. Pengecekan jenis
kelamin dilakukan secara
manual, dengan melihat bagian
urogenital papillae pada ikan nila merah
(Anonim 1998). Hasil
penelitian menunjukkan jantanisasi
menggunakan madu selama 3
bulan memberikan pengaruh terhadap pembentukan ikan nila berkelamin
jantan yaitu ada beda nyata perlakuan dengan control, (Andri Martinus, 2013).
F.
Persentase
Pembentukan Kelamin Jantan Ikan Nila Merah
Berdasarkan jurnal, berdasarkan penelitian yang
dilakukan selama tiga bulan, pemberian variasi dosis madu tidak berpengaruh
antar perlakuan (25, 50, 75
dan 100 ml) terhadap persentase kelamin
ikan nila merah pada taraf kepercayaan
95%, diduga dosis yang digunakan melalui percampuran pakan sejak memasuki umur
2 minggu hari hingga 3 bulan terserap
secara menyeluruh. Dalam
pemberian pakan yang
efektif, perlu diperhatikan
hubungan dosis (ml/gr bb ikan) dan lama perlakuan. Pemberian madu melalui pakan
selama 3 bulan, perlakuan
memperlihatkan beda nyata
pada pembentukan kelamin jantan dibandingkan dengan kontrol sedangkan
antar perlakuan tidak ada beda nyata. Hasil analisis statistik dapat dilihat
pada Tabel .
Tabel Persentase
kelamin jantan ikan nila merah yang diperlakukan dengan variasi dosis madu

Keterangan :
Angka yang diberi
huruf sama pada
baris dan kolom
yang sama tidak berbeda nyata dengan tingkat kepercayaan 95%.
Berdasarkan
jurnal, dosis pemberian madu
yang digunakan ini
mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu
pada jantanisasi ikan
guppy dengan dosis sebanyak 50mL/L dengan persentasenya
64,07 ± 9,71%, melalui perendaman saat induk sedang dalam keadaaan bunting.
Sedangkan pada perlakuan ikan nila merah dengan dosis 25 ml diperoleh ikan nila
jantan sebesar 72,5%, dosis kedua 50 ml sebesar 72,5% jantan, dosis ketiga 75
ml sebesar 75% jantan, dosis keempat 100
ml sebesar 73,3% jantan, sedangkan perlakuan kontrol diperoleh hasil sebesar
61,6% jantan. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat perbedaan
yang nyata perlakuan dengan kontrol,
namun antarperlakuan tidak
menunjukkan beda nyata
dalam pembentukan jantanisasi. Sehingga diperoleh persentase kelamin
jantan maksimal pada madu 75 ml dan berbeda nyata dari control, (Andri Martinus,
2013).
Berdasarkan jurnal, hasil analisis statistik
(pada Tabel) menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antara perlakuan (25, 50,
75, dan 100 ml) dengan kontrol sedangkan antar perlakuan tidak menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap
pembentukan ikan nila merah berkelamin jantan.
Penelitian jantanisasi sebelumnya pada ikan guppy dengan pemberian dosis
madu 50 ml/L menghasilkan persentase
kelamin jantan tertinggi sebanyak 64,07 ± 9,71%. Tingginya persentase tersebut
diakibatkan oleh pengaruh chrysin yang
menghambat aktivitas aromatase hingga transkripsi gen aromatase. Penghambatan
tersebut mengakibatkan kandungan
hormon testosterone lebih banyak
dibandingkan dengan kandungan hormon
estradiol. Persentase kelamin jantan tertinggi pada dosis 75 ml/bb sebesar 75%.
Dosis madu yang efektif adalah 25 ml/bb karena dengan dosis terkecil sudah
menunjukkan tingkat jantanisasi yang
hampir sama dengan 50, 75 dan 100 ml, (Andri Martinus, 2013).
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Ikan nila merah pada
reproduksinya memulai memijah pada umur 4 bulan atau panjang badan berkisar 9,5
cm. Induk betina matang kelamin dapat menghasilkan telur antara 250 - .100
butir. Nila merah tergolong sebagai
Mouth Breeder atau pengeram dalam mulut. Telur-telur yang telah dibuahi akan
menetas dalam jangka 35 hari di dalam mulut induk betina.
2.
Pengaruh Madu terhadap
jantanisasi ikan nila merah karena mengandung senyawa chrysin
yang berfungsi sebagai aromatase
inhibitor alami yang mengakibatkan
produksi hormon testosteron meningkat sehingga sifat-sifat jantan menjadi
dominan.
3.
Dosis madu lebah hutan efektif yang ditambahkan pada pakan buatan (pellet) yaitu 25ml/bb dan persentase pembentukan kelamin
jantan terdapat pada variasi madu yang
terkecil (25 ml) yaitu 72,5%.
4.
Penurunan rasio
estrogen terhadap androgen
pada ikan nila menyebabkan terjadinya
perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata
lain terjadi jantanisasi karakteristik seksual sekunder.
5.
Hasil penelitian
menunjukkan jantanisasi menggunakan
madu selama 3 bulan memberikan
pengaruh terhadap pembentukan ikan nila berkelamin jantan yaitu menunjukkan
beda nyata perlakuan
terhadap kontrol, tetapi
jika dibandingkan antarperlakuan tidak
menunjukkan adanya beda
nyata dalam jantanisasi.
Daftar Pustaka
Adhita Damayanti Ayu Dkk. 2013. Jurnal Penelitian Budidaya Perairan. Aplikasi
Madu Untuk Pengarahan Jenis Kelamin Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Vol 2 (2)
No 82-86 ISSN 2089-7790
Andri Martinus. 2013. Jurnal Penelitian Teknobiologi. Produksi Ikan
Nila Merah (Orechromis niloticus) Jantan
Menggunakan Madu Lebah Hutan.
Andri Martinus. 2013. Skripsi Penelitian Teknobiologi. Produksi Ikan
Nila Merah (Orechromis niloticus) Jantan
Menggunakan Madu Lebah Hutan.
Anonym. 2007. http://media.unpad.ac.id/thesis/230110/2007/230110070115_2_7891.pdf. Diakses tanggal 9/04/2015 Jam 16:08 WIB.